Pages

Rabu, 05 Oktober 2011

Ibu Kapan Kau Pulang? Rindu Ku sudah Tak Dapat Ku Bendung

Saat pencarian ku tak kunjung membuahkan hasil, hanya tempat terakhirmu lah yang dapat aku kunjungi sebagai tempat pelepas rindu ku.

        Kokok lantang seekor ayam jantan memaksa seorang bocah kecil untuk bangun. Ia mengucek kedua matanya, rasanya berat sekali untuk bangun sepagi ini. Ia masih ingin merasakan bantal kesayangannya, bantal yang keras, kumuh dan entah berapa minggu Ia tidak mencucinya. Ia terlalu sibuk untuk mengurusi kegiatan cuci mencuci barang barangnya, kecuali untuk mencuci baju. Mana mungkin Ia tidak mencuci bajunya, bisa-bisa Ia terkena penyakit gatal-gatal akibat tidak pernah mencuci baju. Ah itu hanya akan menambah kerepotannya.
         Bocah kecil bernama Maman itu berdiri dari tempat tidurnya. Masih saja menguap beberapa kali, menahan kantuknya yang dengan kurang ajar terus saja menuntutnya untuk tidur kembali. Kaki kaki kecilnya Ia paksakan untuk melangkah keluar kamar. "Uh! Bau ini." Spontan Maman menutup hidungnya saat Ia mencium bau alkohol murahan di ruang tengah rumahnya yang sempit. Sialan, laki-laki brengsek itu pasti telah mabuk semalam. Lihat saja empat botol minuman beralkohol dan puntung-puntung rokok yang berserakan di lantai. Cih! Dari mana laki-laki itu mendapatkan uang untuk membeli barang-barang haram ini? Kalau tidak mencopet pasti memalak orang. Maman tersenyum kecut, sedikit menggeleng-gelengkan kepala. Kalau saja laki-laki itu bukan Ayahnya, pasti Ia sudah membunuhnya sejak dulu. Membiarkannya membusuk di rumah kumuh ini. Dengan berat hati, Maman membersihkan ruangan itu. Memunguti puntung-puntung rokok dan mengambil botol-botol, saat itu lah Ia melihat sang Ayah tertidur pulas dengan wajah tanpa dosa di kursi usang miliknya. Kursi warna merah yang busanya sudah kempot, kain pelapisnya bolong-bolong akibat tikus yang selalu menggerogotinya, kayunya pun sudah lapuk karena termakan usia dan rayap. Maman memandangi Ayahnya dengan rasa kebencian yang sejak lama tak pernah sedikit pun pudar, Ia lalu memandang sebuah botol di tangannya. Ingin rasanya botol itu Ia pecahkan di kepala Ayahnya, tangannya lalu menggenggam erat botol. Menahan agar hasratnya tidak benar benar terjadi. Lagipula, kalau saja ia tidak ingat kata kata Ibunya untuk selalu menghargai orang tua seburuk apapun mereka, pasti sekarang hasratnya sudah menjadi kenyataan. Akan ia hujamkan botol kaca itu ke kepala Ayahnya hingga hancur tak bernyawa.
           Dengan segera Maman memalingkan wajahnya, membuang jauh-jauh pikiran kejamnya seraya beristigfar di dalam hati. Ia berencana mengambil air wudhu setelah ini, melaksanakan sholat agar jiwanya lebih tenang.
           Setelah Maman menunaikan sholat subuhnya, Ia bergegas mandi. Lalu dengan segera berangkat ke tempat kerjanya. Ya, Maman memang bukan anak yang beruntung. Pagi hari seharusnya Ia bersiap-siap untuk sekolah, namun karena keterbatasan biaya Ia tak dapat melanjutkan sekolah. Ia hanya bersekolah sampai kelas 3 SD, dan bila Maman masih bersekolah Ia pasti sudah menginjak kelas 6 SD sekarang. Ingin sekali ia melanjutkan pendidikannya, belajar menggunakan buku-buku yang bagus, mengenakan seragam putih biru yang bersih. Namun semua itu hanya mimpi belaka yang mana mungkin terwujud untuk saat ini. Ah cukuplah bermimpi, Maman sudah bersyukur bila hari ini Ia masih bisa merasakan nasi dengan lauk ikan asin atau telur dadar seperti biasanya.
            Tak terasa, sampailah Ia di toko koran. Maman lalu menghampiri juragannya, "Jatah mu di sana, Man." Sang juragan menunjuk gundukan koran di sudut ruangan. "Hari ini jatah mu mengantarkan koran di Perumahan Kidung Jaya." Waah perumahan elite, pikir Maman. "Baik, Bang!"
            Maman lalu mengambil sepeda mini yang memang telah disediakan sang juragan untuk loper-loper koran yang bekerja dengannya. Pagi ini, Maman mengawali harinya dengan menjadi loper koran seperti biasa. Ia lalu mengayuh sepedanya kuat-kuat dengan senyum yang mengembang. Ia senang merasakan angin di pagi hari, mebuatnya terasa begitu segar serasa beban berat yang Ia pikul selama ini terlepas dari pundaknya. Kata Ibu "Nikmatilah angin saat Ia berhembus, karena Ia dapat membantu melepas beban mu walau hanya sesaat. Dan jangan lupa tersenyumlah saat menghadapi hari-hari mu." Sampailah  Maman di perumahan elite itu, dengan lincah dan tepat Ia lemparkan koran-koran itu ke teras sang pelanggan.
           Tugasnya menjadi loper koran telah selesai, Maman bergegas kembali ke toko juragannya. Saat Maman sedang menyusuri jalanan komplek, Ia melihat seorang wanita kira-kira berusia 30 tahunan bersama seorang anak kecil laki-laki yang lucu sekali, kulitnya putih, pipinya memerah karena udara pagi yang memang masih terasa dingin. Mungkin mereka adalah Ibu dan Anak. Sang Ibu menggandeng tangan anaknya dengan penuh kasih sayang, tersenyum melihat sang anak yang sedang memakan kue donatnya. Sang anak terlihat sangat lahap saat memakan donatnya, hingga mulutnya penuh warna coklat karena meses yang menempel. Lalu dengan segera si ibu berlutut di depan anaknya, mengeluarkan selembar tissue dan dengan cekatan membersihkan mulut anaknya. Setelah dirasa bersih, si Ibu menggandeng tangan anaknya lagi, mengajaknya bergegas pulang.
            Maman jadi ingat dengan kenangan-kenangan bersama Ibunya. Ia ingat saat pertama kali Ibunya mengajaknya ke pasar, di sana Maman melihat banyak aneka jajanan pasar. Maman tertarik dengan jajanan yang berbentuk bulat-bulat kecil, dengan ampas menyelimutinya, klepon. Ia merengek, meminta kepada Ibunya agar dibelikan jajanan tersebut, dengan rasa tulusnya sang Ibu membelikan jajanan yang diinginkan Maman. Ibu tersenyum saat Ia melihat anaknya dengan penuh ceria melahap habis kleponnya. Gula merah berceceran di pipi, mulut, dan tangan Maman. Ibu dengan sabar, membersihkan tangan, pipi, dan mulut Maman dengan bajunya, tanpa memperdulikan bajunya juga akan kotor oleh gula merah. "Lain kali kalau makan pelan-pelann saja ya, nak. Lihat tuh kamu jadi terlihat kotor." Kata Ibu, sambil tersenyum lalu mencolek lembut hidung Maman.
             Ah! Kenangan itu. Selalu saja Maman hampir menangis bila mengingat kenangan-kenangan bersama Ibunya. Ia lalu menghapus air mata yang hampir saja keluar, menghirup udara pagi dalam-dalam, berharap sebuah gumpalan besar di tenggorokkannya yang begitu menyakitkan segera hilang. Maman bergegas kembali ke toko koran, meletakkan sepedanya, melaporkan bahwa tugasnya sudah selesai, dan mendapatkan upah. Upahnya memang tidak seberapa, hanya sepuluh ribu rupiah, namun cukup untuk sarapan pagi ini.
             Sebelum melanjutkan aktivitasnya hari ini, Maman mengunjungi warung langganannya. Memesan sarapan seperti biasa, nasi dengan lauk sepotong ikan asin. Tak masalah baginya hanya memakan lauk yang sekadarnya seperti itu, yang penting perut kenyang dan harganya murah meriah. Saat makan kenangan bersama Ibunya muncul lagi. Entah mengapa hari ini Ia rindu sekali dengan Ibunya, Ia ingin bertemu dengan sang Ibu. Bagi Maman, Ibunya adalah sosok Ibu teladan. Ibu yang luar biasa baik. Ibunya adalah orang yang taat beribadah, suka menolong orang yang kesusahan walaupun sering kali hidup Ibu pun teramat susah, Ia penuh kasih sayang, tidak pernah sekalipun Ia memarahi Maman. Ibunya itu ramah dan sabar, makanya banyak tetangga yang menyukainya. Hanya orang-orang idiot dan tak berhati manusia lah yang tega membuat hancur hidup Ibunya, salah satunya adalah Ayah Maman. Sering kali, Ayah memukuli Ibunya bila sang Ibu tak memberikan uang untuk membeli minuman beralkohol dan rokok. Terkadang Maman sering berpikir, mengapa Ibu mau menikah dengan orang seperti Ayah? Sangat banyak lelaki yang jauh lebih baik dari pada Ayah, yang bisa memperlakukan Ibu selayaknya seorang istri dan membuat Ibu bahagia. Pernah suatu kali Maman menanyakan pikirannya itu kepada Ibunya, dan Ibunya hanya menjawab "Karena Tuhan lah yang menjodohkan Ibu dengan Ayah mu."  Lalu Ibu tersenyum lembut. Setelah itu, Maman tak berani lagi menanyakan isi pikirannya. Baginya, asalkan sang Ibu tak pernah memudarkan senyumannya, itu sudah cukup memberi tahu Maman bahwa Ibunya selalu kuat untuk menjalani hidup yang terlalu kejam untuknya.
           Sial! Maman sangat merindukan Ibunya. Hari ini Maman bertekad untuk mencari Ibunya, menemukannya, serta memeluknya. Ia lalu melanjutkan aktivitasnya setelah makan dan membayar. Sekarang tujuannya adalah ladang milik Haji Komar. Maman memang biasa membantu Haji Komar untuk mengurus ladangnya yang cukup besar. Ladang Haji Komar ditanami terong, singkong, jagung dan beberapa umbi serta sayur-sayuran yang lain. Sebelumnya Maman mengunjungin rumah Haji Komar terlebih dahulu, meminta izin serta meminjam cangkul dan arit. Setelahnya, baru lah Maman pergi ke ladang. Ia mencangkul tanah-tanah yang kering, memotong rumput dengan arit, menyirami tanaman, menyemprotnya dengan pestisida dan mengambil beberapa sayur serta umbi bila sudah ada yang terlihat matang dan bagus.
            Siang itu matahari sangat terik, kepala Maman terasa sedikit pusing karena panas matahari. Ia memutuskan untuk duduk di sebuah pohon mangga. Sedikit mengantuk bila duduk di bawah pohon yang teduh ini, berkali kali Maman menguap. Tetapi Ia kekeh bertahan agar tidak tertidur, mengakibatkan halusinasinya bangkit, tiba-tiba Ia melihat sekelebat bayangan Ibunya. Melewatinya dengan senyum khasnya. "Ibu!" panggil Maman. Ia lalu segera berdiri, mengikuti bayangan dimana Ia menghilang. Maman terus saja memanggil-manggil Ibunya. Ia hampir 3 kali mengelilingi ladang yang luas itu terus menerus, hingga Ia merasa lelah. Maman jatuh terduduk di tengah ladang, lagi-lagi air matanya hampir menetes tetapi cepat-cepat Ia hapus. Kata Ibu "Laki-laki itu dilarang menangis!" Maman lalu berdiri, kembali ke pohon mangga tempat Ia berteduh tadi. Memandangi cangkul dan arit milik Haji Komar, yang dulu juga sering Ibunya pakai saat Ia bekerja di ladang Haji Komar. Kata Haji Komar, Ibu Maman adalah orang yang rajin dan jujur dalam bekerja. Tidak pernah sekalipun Ia mengeluh. Maman lalu menggenggam cangkul dan arit itu, mengelusnya, merasakana bahwa dulu tangan Ibunya juga menggenggam alat ini. Maman tak mau terlalu lama larut dengan perasaannya, Ia bergegas pergi dari ladang itu karena tugasnya memang sudah selesai. Maman mengembalikan cangkul dan arit serta memberikan hasil ladang yang tadi Maman ambil karena memang sudah waktunya dipanen, Haji Komar pun tak lupa memberikannya upah bekerja, lumayan dua puluh lima ribu rupiah.
          Hari sudah semakin siang, perut Maman sudah memberontak ingin diisi. Kembali Ia menghampiri warung makan langganannya. Kali ini lauknya bukan sepotong ikan asin, namun sepotong telur dadar dengan nasi. Maman bersyukur dapat merasakan telur dadar yang hanya dapat Ia rasakan seminggu sekali. Nikmat rasanya. Maman tak pernah sekali pun tak mensyukuri nikmat Tuhan, baginya apa yang Tuhan sekarang berikan kepadanya adalah sebuah bentuk kasih sayang Tuhan untuknya. Walaupun Maman serba kekurangan, namun Maman yakin Tuhan tak pernah sekali pun kurang dalam memberikan kasih sayang-Nya kepada Maman. Sebentar Maman duduk-duduk di warung, melepas lelah dan kepenatannya. Lalu Ia menatap jam dinding yang ada di warung, pukul setengah 3 sore. Waktunya Maman beranjak menuju tempat kerjanya yang lain.
           Kali ini Maman akan menggembala domba-domba ternak milik Pak Sahrir. Seperti biasa, setelah meminta izin kepada Pak Sahrir, Maman mengeluarkan 5 domba Pak Sahrir dan membawa mereka ke lapangan berumput di sebelah rumah Pak Sahrir. Pekerjaan ini cukup mudah, Maman hanya perlu mengikat domba-domba tadi di kayu-kayu yang sudah ditancapkan di tengah lapangan dan mengawasi domba-domba makan. Lalu setelah domba-domba sudah cukup makan, waktunya Maman memandikan domba-domba tersebut, dibantu oleh Pak Sahrir. Dan domba pun di jemur sebentar, sebelum masuk kandang kembali. Sambil menunggu domba dijemur, Maman membersihkan kandang domba dari kotoran-kotoran domba. Seperti tidak dapat mencium bau busuk yang menyengat, Maman cuek saja menyapu dan menyirami kandang domba hingga bersih. Setelah itu, barulah Maman memasukan kembali domba-domba tadi ke kandangnya. Sebelum pulang Maman pamit dulu kepada Pak Sahrir, yang lalu diberi upah oleh Pak Sahrir. Lima belas ribu rupiah.
            Dalam perjalanan pulang, langit sudah memerah saat itu. Awan-awan hitam mulai berarak memenuhi langit. Rasa lelah tak membuat tekad Maman luntur untuk menemukan Ibunya hari ini. Ia lalu menyusuri jalan jalan kampung, melongok ke warung-warung yang dulu sering menjadi tempat Ibunya belanja. Terkadang Ia juga sedikit mengintip ke rumah-rumah tetangganya, berharap Ia menemukan Ibunya di sana. Lalu Maman pergi ke sebuah TPA. Dulu sang Ibu juga pernah menjadi pemulung di sana. TPA itu sudah mulai sepi, para pemulung sudah bergegas kembali ke rumah mereka masing-masing sejak tadi. Maman berteriak memanggil Ibunya. "Ibu! Ibu! Ibu! Dimana kau? Ibu! Kembali lah pulang! Aku merindukan mu!" Terus menerus Maman meneriakkan kata-kata itu. Hingga air matanya tak dapat terbendung lagi, Maman sudah tak menghiraukan nasihat Ibunya yang melarang seorang lelaki menangis. Baginya, rasa rindu ini begitu menyakitkan hingga seluruh tubuhnya tak dapat lagi menahannya. Maman menangis tersedu-sedu, menunjukkan kemirisan yang menyayat hati pendengarnya.
            Seperti bangun dari tidurnya, Maman lalu tersadar. Hanya ada satu tempat di mana Ia akan menemukan Ibunya. Segera Ia berlari ke tempat itu. Sesampainya di sana, Ia mematung penuh kelegaan melihat Ibunya masih berada di sana, namun tetap saja hatinya tersayat bila melihat keadaan Ibunya saat ini. Maman lalu menghampiri Ibunya, berlutut di hadapannya, memandangnya penuh rasa rindu. Lagi-lagi air matanya menggenangi pipinya. "Ibu." Isaknya. "Kapan kau pulang? Kau tahu aku sangat merindukan mu, Ibu? Haruskah aku yang mengikuti mu pergi?" Maman lalu memeluk Ibunya, ingin sekali Maman merasakan hangat tubuh sang Ibu, namun yang dia peluk kini adalah batu nisan yang hanya mengeluarkan hawa dingin. Tak mungkin lagi Maman merasakan pelukan hangat Ibunya. Sudah hampir 3 tahun Ibunya pergi meninggalkannya karena sakit TBC yang Ia derita. Maman terisak tak kuasa menahan rasa rindu yang sudah 3 tahun Ia tahan. Sekali lagi Maman berkata "Ibu kapan kau pulang? Rindu ku sudah tak dapat ku bendung."

Selasa, 04 Oktober 2011

Hangatnya Angin Di Pagi Hari

Di saat kesepian meredam, hanya senyum tulus mu di pagi hari lah yang dapat mengusirnya.

        Masih saja aku tersenyum saat mengingat mu, bukan senyum layaknya orang kasmaran, namun senyum yang redup penuh kerinduan. Aku rindu saat menjamah lingkar dada mu, saat menghirup aroma tubuh mu, saat menggenggam tangan mu. Kerinduan mendalam yang tak mungkin lagi aku rasakan.

                                                                          ###

        Aku ingat saat pertama kali tatapan kita bertemu. Senyuman lembutnya melebur dengan hangat matanya, menjadikannya lukisan Tuhan yang begitu mempesona. Aliran darah ku berpacu cepat, berlomba dengan degup jantung ku, layaknya perlombaan tidak ada yang mau mengalah.
        Hari demi hari, rasa terpesona ku berubah menjadi cinta yang sederhana. Sederhana namun penuh hasrat. Ketulusannya mengajarkan ku kehangatan angin yang selalu membawa pesan bahagia, rindu serta kesedihan, membuat ku tak pernah berniat melepas jaring jaring cinta ku kepadanya.
Dia yang mengajarkan ku hidup dalam kegelapan, ceria dalam teror kepedihan, menghargai tulusnya perasaan dan berdiri dalam ganasnya dunia.
        Tak pernah sedetik pun aku melepas pandangan darinya, seakan setiap inci geraknya harus selalu aku ketahui. Sering aku membayangkan degup jantungnya terpatri hanya untuk ku, setiap helaan nafasnya tercipta hanya unutk jiwa ku. Aku ingin menjadi bagian dari setiap aliran darahnya, dari setiap bagian hidupnya.
        Semakin lama sosok itu menjadi begitu penting dalam hidup ku. Cinta yang sederhana sudah tak sesederhana dulu, namun cinta yang kurasakan kini telah berubah menjadi cinta yang begitu mengagumkan. Cinta yang membawa keajaiban di setiap hasratnya. Setiap helaan nafas, tak pernah cinta ku luput dari absensi otak ku. Selalu saja ia rajin menghampiri pikiran ku tanpa pernah terlambat. Kadang aku berpikir, kekuatan apa yang membuat ia begitu tepat waktu saat memenuhi otak ku?

                                                                           ###

          Ah! Lagi lagi hembusan angin pada pagi hari mengingatkan ku pada mu. Selalu saja begitu, angin masih menjadi musuh dalam selimut. Terkadang lembutnya angin justru menjadi ranjau untuk ku. Membawa kenangan kenangan indah yang justru memberikan rasa pahit di akhir. Sudah 3 tahun lamanya kau meninggalkan ku dalam diam, tanpa pamit, tanpa senyum selamat tinggal dan tanpa ungkapan perpisahan.
          Salahkah aku yang terkadang mengharapkan mu kembali? Merindukan cara mu mengajari ku
berdamai dengan ganasnya angin, menghargai setiap helai lembut dari kenangan yang dibawanya, menghargai setiap hembusan pesan kerinduan yang dikirimkannya. Bahkan, di saat kesepian meredam, hanya senyum tulus mu di pagi hari lah yang dapat mengusirnya.
          Angin pagi ini, angin yang sama setiap kali kau datang menghampiri ku. Angin yang membawa mu datang hanya untuk memberikan semangat untuk ku di pagi hari. Namun mengapa hingga detik ini sosok mu belum juga terlihat? Kadang dengan bodohnya aku mencari mu, tetapi mana mungkin aku menemukan mu. Angin ini persis dengan angin pada setiap pagi saat kita bersama, aku tidak berani membayangkan sosok mu yang terbaring lemah di sana, tak lagi dapat merasakan hembusan angin lembut ini. Tetapi kadang aku bertanya, pernahkah sekali saja kau mencoba merasakan angin kita di pagi hari setelah kepergian mu yang tanpa pamit itu?
          Akibat kerinduan ini, sudah 2 bulan lebih aku tidak mengunjungi mu. Mungkin kau marah karena aku luput dari absensi mu, padahal kau dulu tak pernah luput dari absensi otak ku. Aku tak bermaksud terlambat untuk mengisi absensi mu, Sayang. Aku hanya ingin meredakan teror kesunyian dalam hati ku, menggantikannya dengan hujaman rasa rindu yang lebih baik.
          Baiklah! Hari ini aku akan pergi mengisi absensi mu dan mengganti absensi-absensi yang kosong karena keterlambatan ku. Membersihkan debu debu pembawa kesuraman yang menghampiri nisan mu, membersihkan rumput-rumput liar yang nakal mengganggu tanah kubur bersih mu. Akan ku hiasi tempat peristirahatan mu dengan bunga bunga wangi yang cantik, menyiramnya dengan air penuh doa yang membawa kesegaran abadi. Oh, Sayang ku. Tunggulah aku datang membawakan doa penuh cinta, agar kau dapat tenang di sisi Sang Maha Kuasa.

Senin, 03 Oktober 2011

Haruskah Aku Menyerah Sekarang Setelah Bertahun Tahun Mencintai Mu? Relakah Aku?

Aku menatap mu malam itu, senang namun entah mengapa aku merasakan ada sesuatu yang kurang. Ada keganjilan yang begitu janggal. Aku mencari sesuatu yang hilang dalam kegelapan, bukan dalam kegelapan malam, tetapi pada kegelapan hati yang begitu sunyi. Aku bertanya kepada diri ku sendiri Di mana getaran cinta itu? Di mana degup jantung yang selalu aku rasakan saat bersamanya? Di mana hawa dingin yang selalu menusuk setiap ruas rusuk ku saat tubuh ku berada dekat dengannya? Mengapa nafas ku begitu teratur saat ini? Aku terus memikirkan pertanyaan itu hingga aku tidak mengenal diri ku sendiri. Di mana semua rasa cinta yang selalu aku rasakan? Aku bingung, bahkan takut saat menyadari bahwa selama ini sedikit demi sedikit rasa cinta ku telah menguap. Terbawa oleh angin yang menyapu cinta untuk pergi menjauh dari hati ku. Angin yang terlalu lembut, yang menyelinap dalam diam. Yang pada akhirnya, angin itu membawa ribuan duri beracun yang menyengat setiap rongga jantung dan hati. Menyalurkan racun ke seluruh pembuluh darah, membuatnya menciut, rapuh, dan mati. Menyakitkan.
Di malam lain, aku hampir menangis saat aku benar benar yakin bahwa cinta ku telah hilang. Hati ku mengerang, menjerit penuh siksa karena kekosongan. Di mana cinta ku?! Aku menginginkannya kembali! Hening. Cinta ku tak pernah kembali.
Secepat kilat hati ku menciut ditelan kegelapan abadi. Aku terlalu takut untuk menerima bahwa cinta ku telah hilang. Kenyataannya, Tuhan telah mengabulkan doa ku yang terakhir. Dia tidak menjodohkan ku dengannya. Oleh karena itu, Tuhan renggut cinta ku, Tuhan hisap rasa cemburu dan air mata untuk cinta ku. Nyatanya, Tuhan bahkan tidak mengizinkan ku mengeluarkan air mata saat semua rasa sakit meneror ku, Tuhan tidak memberikan ku rasa cemburu saat aku melihat foto wanita mu. Namun, mengapa Tuhan tidak mengambil rasa ketidakrelaan ku saat aku menyadari bahwa cinta ku hilang?
Aku bertanya tanya mengapa Tuhan begitu setengah setengah dalam merenggut perasaan ini. Ia ambil semua rasa cinta, sayang, dan cemburu, namun Ia tetap menyisakan satu : Ketidakrelaan.
Hingga saat ini, aku tetap tidak rela bila semua rasa cinta yang sudah aku rasakan selama Bertahun Tahun habis direnggut begitu saja.
Aku bingung bila harus merasakan kekosongan ini. Bingung dalam kehampaan, meraba raba pekatnya kegelapan, berharap benang benang merah cinta ku yang hilang ditemukan. Tetapi, usaha ku selalu saja nihil. Tidak pernah aku merasakan lagi benang benang cinta yang merajut hati dan jantung ku begitu hangat.
Namun, aku tetap bertanya pada Tuhan Mengapa aku tetap merasakan kerinduan akan perasaan itu? Mengapa aku sangat takut kehilangannya? Mengapa ketidakrelaan terus berputar dalam setiap denyut nadi ku? 
Aku menghela nafas, sebentar merasakan sejuknya udara. Udara segar, tanpa adanya beban yang terselip dalam udara. Yang terkadang membuat tenggorokan ku sakit saat menghirupnya. Aku mengisi otak ku dengan kejernihan udara yang membawakan sedikit cahaya surga. Yang lalu otak ku salurkan kedalam celah celah hati ku yang menghitam diselimuti suramnya debu kepedihan. Sedikit demi sedikit, semua raga yang sempat mati kini mulai berfungsi. Berjalan dengan ditopang oleh cahaya surga. Rasa ikhlas, ceria, dan kelegaan ku melebur menjadi senyuman. Lalu aku berkata kepada Tuhan.

Tuhan, maafkan aku yang telah meragukan keputusan Mu.
Maafkan aku yang telah menganggap mu setengah setengah dalam merenggut cinta ku.
Aku tahu, ini lah pilihan terbaik Mu.
Inilah kisah cinta yang akan Kau tuliskan untuk ku.
Kisah cinta yang hingga saat ini aku percaya akan berakhir bahagia dengan sesosok malaikat yang akan selalu menyinari hari hari ku penuh cinta.
Jujur Tuhan, kebimbangan ku terus berlanjut hingga kini.
Ketidakrelaan ku pun masih sedikit terpatri di benak ku.
Namun, aku selalu percaya pada Mu, bahwa suatu hari nanti semuanya akan hilang bersama rasa cinta, sayang dan cemburu.
Atau.... Semua itu akan kembali? Kau merenggutnya saat ini, tetapi suatu hari nanti mungkin kah Kau akan mengembalikan cinta ku kembali ke tempatnya?
Ah kisah cinta ku adalah rahasia Mu, Tuhan.
Aku tahu aku tidak akan mengetahui jalan kisah ku hingga waktunya tiba.
Ini mungkin akan menjadi perjalanan yang rumit, namun aku yakin aku akan tetap menikmatinya.
Karena Kau tahu, Tuhan? Perasaan yang Kau ciptakan ini adalah candu dengan rasa nikmat terluar biasa yang pernah ada.

Tuhan, terima kasih selalu tercurah untuk Mu atas segala kisah yang telah Kau tulis untuk ku.
Karena dengan kisah Mu, aku dapat belajar untuk kehidupan dan kuat berdiri untuk menyongsong matahari keemasan ku. Tuhan, bagi ku setiap kisah yang Kau tulis untuk ku adalah cara Mu untuk menunjukkan rasa cinta Mu kepada ku. Terima kasih wahai Tuhan ku Sang Pecipta Kisah Cinta.

Minggu, 02 Oktober 2011

Harapan Cinta Ku

Saat aku mendengar bahwa kamu sudah memiliki yang lain, aku hanya berharap : Wanita yang kamu cintai itu, bisa mencintai mu lebih dari ku. Wanita yang kamu cintai itu bisa menjaga mu tanpa sedikit pun menyakiti mu. Wanita yang kamu cintai itu bisa membahagiakan mu seumur hidup mu.
Aku berdoa setiap saat dalam diam dan rasa sedih yang aku harap akan menguap seiring bergantinya siang dan malam. Harapan Cinta Ku tak pernah berubah, yakni selalu menginginkan mu bahagia, sehat tanpa kekurangan apapun. Aku tak pernah berharap lebih dari sekedar itu, berharap untuk menjadi kekasih mu pun aku tak sanggup. Aku selalu tak percaya diri bila membayangkan diri ku ini bersanding dengan mu. Bagi ku kamu terlalu sempurna, karena kamu lah satu satunya lelaki yang aku anggap bisa melengkapi segala kekurangan ku. Aku pun pernah berangan angan dapat melengkapi mu, namun apa yang harus aku lengkapi dari mu? Kamu terlalu sempurna untuk dilengkapi oleh gadis yang hanya bisa bermimpi seperti ku.
Jujur, ini adalah Cinta yang begitu tulus. Ini lah kali pertama aku merasakan cinta seperti ini. Cinta yang begitu dalam, begitu tulus, begitu lembut, dan abadi. Namun kadang cinta ini begitu menyakitkan, sangat menyakitkan hingga hati ku terasa tak berfungsi, dada ku sesak dipenuhi gemuruh udara, mata ku perih tergenang air kepedihan.
Cinta ini tak pernah membawa kebahagiaan, karena Ia tak pernah terbalas. Tetapi, aku tidak pernah menyalahkan kamu, karena tak pernah membalas rasa ini. Sepenuhnya ini hak mu untuk menerima ku atau menyia nyiakan ku. Dan kamu memilih untuk menyia nyiakan ku. Aku terima dengan ikhlas, sangat ikhlas. Aku paksa hati ku untuk berlapang dada dan sembuh dari luka. Namun semakin aku memaksa, semakin luka ku bertambah besar. Aku merasakan hati ku memiliki lubang yang sangat besar karena kekosongan yang mendalam. Aku terus berusaha menyembuhkan luka ini, hingga aku bedoa kepada Tuhan :

Tuhan, bila aku memang berjodoh dengannya.
Tanamkan lah cinta ini lebih kuat lagi hingga ke akar hati ku yang terdalam.
Berikan aku kekuatan dan kesabaran untuk menunggu lebih lama lagi.
Sembuhkan luka ku agar aku dapat terus merasakan cinta ku kepadanya.
Hapuskan rasa cemburu ku agar aku dapat terus menikmati cinta ku kepadanya.
Ambil air mata ku agar aku dapat terus melihatnya.
Walaupun aku harus menunggu lama, namun jika benar Ia jodoh ku, eratkan lah benang merah cinta kami. Walaupun kadang menyakitkan, namun tetaplah jaga cinta ku untuknya, Tuhan.
Karena aku tahu, hanya Kau sang Maha Penyimpan yang abadi dan terpercaya.

Namun Tuhan, bila aku dan dia memnag tidak berjodoh.
Renggut lah cinta ini dari hati ku.
Pudar kan rasa sayang ini.
Hilangkan wajah serta namanya dari otak ku.
Serap rasa cemburu ku untuknya.
Hisap air mata ku yang aku siapkan untuknya.
Walaupun aku tahu ini akan terasa menyakitkan, namun inilah yang terbaik. Walaupun aku tahu luka di hati ku akan lebih besar dari sebelumnya, namun aku tahu luka itu akan sembuh sering bergantinya matahari dan bulan. Walaupun aku tahu aku akan merasakan kekosongan semuram debu, namun aku tahu suatu hari nanti akan ada seorang malaikat yang akan membersihkan dan mengisi kekosongan itu dengan cahayanya.

Tuhan, Kau lah sang Maha Kisah Cinta.
Kabulkan lah doa ku, sesuai keindahan kisah cinta Mu untuk ku. 
Aku yakin, sesakit dan sesulit apa kisah Mu untuk ku, pasti aku akan bahagia pada akhirnya.
Karena aku percaya, Kau lah yang akan membuat kisah cinta ku indah di akhir cerita.
Amin

Jumat, 30 September 2011

Kegundahan Segelap Arang

Rasa itu datang, menyusup penuh diam, membawa cerita manis yang kadang menyayat jiwa. Perlahan namun pasti, rasa itu menguasai setiap jalur nadi ku. Mencekat setiap aliran darah bila aku sedang bersamanya.
Tetapi aku terlalu pengecut untuk menyadarinya, aku takut melihat rasa itu. Permasalahnnya rasa itu muncul di saat aku juga sedang mencintai sosok lain. Aku takut aku akan bercinta dengan cara yang salah. Namun akhirnya aku memang bercinta dengan cara yang salah
Aku menyadarinya dengan nafas tercekat, dada ku terasa penuh, otak ku melayang entah kemana hingga aku lupa cara bernafas. Aku hampir menangis bila mengingat perasaan itu. Terlalu bingung untuk memilih di antara dua cinta. Sosok gempal selalu membuat ku tersenyum bila melihatnya, darah ku selalu berdesir setiap mengingat tatapan tajam matanya. Sosok yang lain penuh keceriaan, senyumnya tak pernah habis untuk ku, jantung ku pun terkadang melompat gembira bila aku melihat sosoknya. Terlalu sulit untuk memilih, hati ku seakan tak pernah rela untuk melepaskan salah satu dari mereka. Aku menginginkan mereka berdua. Mungkin itu terdengar egois dan serakah, namun aku juga tidak bisa membohongi diri ku bahwa aku memang menginginkan mereka berdua seutuhnya.

Masalah dua cinta ku belum juga selesai, tetapi mungkin Tuhan terlalu sayang pada ku. Muncul satu masalah lagi, bagi ku ini lebih ringan tetapi tetap saja menyakitkan.
Satu hal lagi yang aku sadari, bahwa rasa cinta ku kepada seseorang yang telah bertahun tahun aku cintai mulai luntur. Aku bersyukur, tetapi di sisi lain kesedihan menyergap ku tanpa ampun. Tidak kurasakan lagi getaran getaran cinta saat aku bertemu dengannya, tidak ku rasakan lagi api membakar setiap pembuluh darah ku saat aku mengetahui dia memiliki yang lain. Kadang aku rindu rasa itu, tetapi setiap aku menunggu rasa itu muncul selalu saja nihil. Hati ku untuknya seperti berubah menjadi batu. Cinta ku padanya seperti menguap layaknya embun pagi yang pergi bersama angin dan panas matahari, meninggalkan kekeringan yang kadang terasa menyakitkan.
Tetapi, mungkin aku tidak akan benar benar melupakannya, aku takkan pernah rela untuk melupakannya. Mungkin aku hanya akan menyimpan cintanya di sudut paling rahasia dari hati ku, sehingga hanya cahaya Tuhan yang dapat menemukannya. Hingga suatu hari nanti, Tuhan mengizinkan ku untuk menemukannya dan merasakannya kembali. Aku tahu, Tuhan selalu mengetahui waktu yang tepat untuk merenggut dan mengembalikan apa yang aku miliki, Dia selalu memiliki rencana yang baik untuk semua umat-Nya.

Aku menghela nafas setiap kali menemukan masalah cinta, memandangi diri ku yang sedang dilanda kegundahan segelap arang. Aku terlalu polos untuk setiap masalah percintaan, aku buta tentang cinta, kadang aku bahkan takut menghadapinya. Aku takut sakit, aku takut menangis, aku takut trauma. Memang aku terlalu perhitungan dalam urusan cinta, aku terlalu hati hati dan protect. Aku selalu tidak siap untuk mengadapi cinta, namun aku tidak mungkin menghindar darinya. Itu mustahil, karena terkadang aku pun haus akan cinta, haus akan nikmatnya getaran getaran cinta yang membara.
Oh cinta, kau lah racun candu yang paling mematikan. Racun paling kejam sekaligus paling nikmat yang takkan pernah ada obatnya.

Selasa, 27 September 2011

Dua Hati

Aku memukul lengan gempal itu, senyum ku mengembang tat kala sang empunya tangan meringis kesakitan. Aku tertawa saat sang empunya tangan memanyunkan bibir tanda dia sebal dengan perbuatan ku. Namun itu yang aku suka dari laki laki bertubuh gempal, bermata sipit, bekulit sawo matang dan memiliki kebiasaan mahal senyum. Di sisi lain, tanpa aku sadari secara langsung, sepasang bola mata menatap kami tajam, malas melihat pemandangan yang baginya sangat menyebalkan.
"Bena, aku minta nomer mu dong." pinta ku kepada si tubuh gempal sambil sedikit merajuk.
"Minta aja sama si Diki." jawabnya sambil melirik ke arah Diki.
Aku melirik ke arah Diki, dia tampak malas malasan. Tatapannya seperti orang putus asa.
"Aku udah pernah coba minta ke dia, tapi dia gak mau kasih." aku memanyunkan bibir ku.
"Pasti dikasih kok, kan udah aku izinin."
"Hmm iya deh, nanti aku coba tanya ke Diki."
Aku menghampiri Diki yang sedang duduk di kursi kantin. "Diki, aku minta nomernya Bena dong."
Tidak ada jawaban, dia tampak tidak mendengarkan kata kata ku.
"Diki, aku minta nomernya Bena." Pinta ku sekali lagi sambil sedikit merajuk.
Diki melihat ke arah ku dengan tatapan malas, lalu pergi meninggalkan ku. Spontan aku langsung lari ke arahnya. "DIKI ! aku minta nomernya Bena !" bentak ku, merasa kesal dengan pertanyaan ku yang tidak dihargai. Diki menatap ku lagi, berhenti dengan sikap malas.
"Aku minta nomernya Bena." ucap ku sekali lagi.
"Nanti lah ! Aku gak hafal !" jawabnya dengan nada jutek. Diki langsung pergi meninggalkan ku. Aku merasa sedikit aneh dengan sikapnya "Kenapa dia? Tidak biasanya dia jutek seperti ini." Tanya ku dalam hati kepada diri ku sendiri.

Malam itu malam minggu, aku bersama teman teman ku nongkrong di salah satu restauran. Kami membicarakan banyak hal, hingga aku teringat bahwa aku harus meminta nomernya Bena ke Diki. Aku mulai memainkan jari ku di atas keypad "Diki, aku minta nomernya Bena." Lalu aku menekan tombol send.
Tak lama terdengar bunyi dering handphone ku, tanda bahwa ada pesan masuk. Dari Diki, "Nanti lah. Aku lagi kena tilangan koh." Aku sedikit menelengkan kepala saat membacanya, tapi dengan cepat aku membalas pesannya "Haa? Kena tilangan dimana?" Aku membalas penuh penasaran dan berharap pesan ku cepat mendapat balasan. Namun hening. Aku bertanya tanya ada apa dengan Diki. Aku pun berpikir, saat itu malam minggu pukul 20.00 secara logika mana mungkin di saat itu ada tilangan? Ini tidak masuk akal. Aku mulai berpikir bahwa ada sesuatu yang tidak benar.

Aku sedikit marah dengan perlakuan Diki yang jutek tanpa alasan. Apa maksudnya dia memperlakukan ku seperti itu? Biasanya dia sangat manis dan penuh perhatian. Dia laki laki yang ceria, penuh senyum dan lucu, tetapi sekarang? Dia mendadak jutek dan tidak peduli dengan ku. Aku kesal.

Hari Senin, hari pertama ku bertemu Diki setelah masalah kemarin. Satu hari penuh aku tidak menyapanya, walaupun dia terus menerus memperhatikan ku bila kita bertemu di beberapa kesempatan. Aku tidak berniat menyapanya, rasanya masih malas untuk berahmah ria dengannya bila mengingat perlakuannya 2 hari lalu. Aku selalu memalingkan muka saat pandangan kita bertemu.
Ini berlanjut hingga pelajaran terakhir, saat itu pelajaran di kelas ku sedang kosong, aku dan dua orang teman ku memutuskan untuk jajan ke kantin. Saat itu aku sedang berpangku tangan, kepala ku aku tolehkan ke arah kelasnya Diki dan Bena yang kebetulan berada tepat di sebelah kantin. Pandangan ku kosong, aku tidak sadar bahwa Diki sudah ada di depan kelas dan sedang melihat ke arah ku. Namun dengan cepat aku sadar saat dia melambaikan tangan dan tersenyum lebar kepada ku. Spontan aku langsung menegakkan badan, sedikit salah tingkah, tetapi aku langsung membalas senyumnya dan melambaikan tangan ku. Diam diam aku rindu menyapanya, aku rindu melihat senyumnya yang hanya ia tujukan hanya untuk ku. Lalu dia buru buru membalikkan badan dan pergi untuk menuju lab komputer. Itu adalah senyum pertama dan terakhirnya di hari Senin.

Hari Selasa, mood ku lebih baik daripada hari sebelumnya. Aku menjalani kegiatan di sekolah seperti biasa, hingga bel istirahat pertama. Aku berencana kembali ke kelas setelah pergi dari UKS untuk meminta minyak kayu putih bersama teman ku, perut ku terasa sakit hari itu. Kita melewati kelasnya Diki dan Bena, saat itu aku melongok ke dalam kelas lewat jendela, aku mendapati Alan sedang berdiri di tengah ruangan.
"Alan !"
Dia menoleh dan tersenyum kepada ku "Eh, baby unyu unyu !" Alan memang selalu memanggil ku seperti itu, dia menganggap aku imut karena pipi ku yang super tembem.
"Bena mana?" Aku langsung mengeluarkan pertanyaan itu, karena jujur aku sangat merindukan laki laki gempal itu. Aku rindu melihat matanya yang sipit dan terlihat dingin itu. Aku rindu bercanda dengannya.
"Tuh." Alan menunjuk ke arah lantai di belakang kelas. "Bena lagi terkapar di lantai tuh."
Aku langsung menolehkan kepala ku ke arah yang ditunjuk Alan. Aku melihat kaki yang terjulur di lantai, namun muka si empunya kaki tidak terlihat. "Aaah gak keliatan." Erang ku.
"Ben, dicariin your lovely baby unyu unyu tuh. Hahaha" Alan menggoda ku dan Bena. Aku tidak terlalu menggubrisnya, aku hanya tersenyum. Lalu aku beranjak pindah ke jendela yang lain agar aku bisa melihat Bena dengan jelas.
"Bena? Absen muka dulu dong." panggil ku.
"Hmm" Bena hanya bergumam malas, dia tidak berkutik dari tidurnya. Aku tahu dia sedang kecapekan habis olahraga. Aku hanya tersenyum melihatnya, namun aku tidak menyadari tubuh yang juga terbaring di sebelah tubuh Bena.
"Diki mana?" Tanya ku kepada Ilham, teman Bena yang lain.
"Tuh." Ilham menunjuk tubuh yang terbaring di sebelah Bena. Hati ku langsung mencelos menyadari tubuh itu adalah Diki. Jadi, sejak tadi dia mendengar ku menggoda dan merajuk kepada Bena? Saat itu juga aku langsung membodoh bodohi diri ku. Harusnya aku tahu bahwa ada Diki di sana, tapi kenapa aku tidak menyadarinya? Bodoh !
Aku bertatap muka dengan teman ku dan meringis bersama saat menyadari kebodohan ku. Secepat kilat aku langsung berpamitan pergi meninggalkan kelas itu.


Saat itu pelajaran kosong, aku dan beberapa teman ku menuju ke kantin untuk menghilangakan penat saat jam menunjukkan bahwa 15 menit lagi bel istirahat kedua berbunyi. Tak lama bel istirahat kedua pun berbunyi, setelah bel aku melihat Diki keluar dari kelas menuju kantin. Dia menyapa ku, namun aku pura pura tidak melihat dan menutup muka ku. Setelah Diki membeli minum, dia beranjak pergi. Namun aku tidak tahan untuk terus seperti ini, sedikit berkomunikasi dengannya sangat menyiksa. Aku lantas memanggilnya "DIKI GENDUUUUTT !!!"
Diki menoleh ke arah ku, tersenyum dan menjulurkan lidah. Aku memberi isyarat tangan agar dia mendekati ku. "Aku kan kangen sama kamu." Aku sedikit merajuk dan memanyunkan bibir ku. Diki tersenyum lebar, agak salah tingkah. Dia lalu duduk di bangku seberang, di sebelah teman ku. Kita mengobrol macam macam, bercanda sambil terus tertawa. Aku rindu melihat tawanya.
Hingga bel tanda istirahat kedua berakhir pun berbunyi, aku dan teman teman ku memutuskan untuk kembali ke kelas. Kita masih berdiri di depan kantin saat akan kembali ke kelas, lalu tiba tiba teman ku berkata kepadaku "Lihat tuh, Diki lagi nyari nyari permen Kiss. Jangan jangan dia lagi nyari permen yang kata katanya bagus." Aku tidak menjawab, hanya tersenyum melihatnya.
Lalu teman ku berkata lagi "Dia senyam senyum ngeliatin kamu tuh." Lagi lagi aku tidak menggubris, aku hanya sekilas melihatnya. Sampai aku sadar dia sudah berdiri di samping ku, lalu dia memberikan permen Kiss warna biru kepada ku "Kata katanya bagus buat kamu." Dia tersenyum kepada ku dan beranjak pergi.
Aku memperhatikan permen itu sebentar dan membalikkannya. Membaca kata kata yang ada di balik permen itu yang ternyata tulisannya adala "FOREVER LOVE". Deg! Aku sedikit terpaku dengan kata kata itu, lalu dengan cepat aku menoleh ke arah Diki yang sedang berjalan mundur sambil memandang ku.
"Gombal." Kata ku dengan senyum yang tidak dapat aku tahan.
Diki pun membalas senyuman ku lembut. Lalu dia berbalik dan hilang di dalam kelasnya. Sekali lagi aku memandangi tulisan itu dengan senyum yang mengembang lebar.

Namun secepat kilat aku menyadari, untuk siapa hati ku di saat terakhir nanti? Aku sadar, aku mencintai dengan cara yang salah. Aku sadar, bahwa secepatnya aku harus memilih.
Secepat kilat pun senyum ku luntur direnggut kegundahan segelap arang.