Rabu, 05 Oktober 2011

Ibu Kapan Kau Pulang? Rindu Ku sudah Tak Dapat Ku Bendung

Saat pencarian ku tak kunjung membuahkan hasil, hanya tempat terakhirmu lah yang dapat aku kunjungi sebagai tempat pelepas rindu ku.

        Kokok lantang seekor ayam jantan memaksa seorang bocah kecil untuk bangun. Ia mengucek kedua matanya, rasanya berat sekali untuk bangun sepagi ini. Ia masih ingin merasakan bantal kesayangannya, bantal yang keras, kumuh dan entah berapa minggu Ia tidak mencucinya. Ia terlalu sibuk untuk mengurusi kegiatan cuci mencuci barang barangnya, kecuali untuk mencuci baju. Mana mungkin Ia tidak mencuci bajunya, bisa-bisa Ia terkena penyakit gatal-gatal akibat tidak pernah mencuci baju. Ah itu hanya akan menambah kerepotannya.
         Bocah kecil bernama Maman itu berdiri dari tempat tidurnya. Masih saja menguap beberapa kali, menahan kantuknya yang dengan kurang ajar terus saja menuntutnya untuk tidur kembali. Kaki kaki kecilnya Ia paksakan untuk melangkah keluar kamar. "Uh! Bau ini." Spontan Maman menutup hidungnya saat Ia mencium bau alkohol murahan di ruang tengah rumahnya yang sempit. Sialan, laki-laki brengsek itu pasti telah mabuk semalam. Lihat saja empat botol minuman beralkohol dan puntung-puntung rokok yang berserakan di lantai. Cih! Dari mana laki-laki itu mendapatkan uang untuk membeli barang-barang haram ini? Kalau tidak mencopet pasti memalak orang. Maman tersenyum kecut, sedikit menggeleng-gelengkan kepala. Kalau saja laki-laki itu bukan Ayahnya, pasti Ia sudah membunuhnya sejak dulu. Membiarkannya membusuk di rumah kumuh ini. Dengan berat hati, Maman membersihkan ruangan itu. Memunguti puntung-puntung rokok dan mengambil botol-botol, saat itu lah Ia melihat sang Ayah tertidur pulas dengan wajah tanpa dosa di kursi usang miliknya. Kursi warna merah yang busanya sudah kempot, kain pelapisnya bolong-bolong akibat tikus yang selalu menggerogotinya, kayunya pun sudah lapuk karena termakan usia dan rayap. Maman memandangi Ayahnya dengan rasa kebencian yang sejak lama tak pernah sedikit pun pudar, Ia lalu memandang sebuah botol di tangannya. Ingin rasanya botol itu Ia pecahkan di kepala Ayahnya, tangannya lalu menggenggam erat botol. Menahan agar hasratnya tidak benar benar terjadi. Lagipula, kalau saja ia tidak ingat kata kata Ibunya untuk selalu menghargai orang tua seburuk apapun mereka, pasti sekarang hasratnya sudah menjadi kenyataan. Akan ia hujamkan botol kaca itu ke kepala Ayahnya hingga hancur tak bernyawa.
           Dengan segera Maman memalingkan wajahnya, membuang jauh-jauh pikiran kejamnya seraya beristigfar di dalam hati. Ia berencana mengambil air wudhu setelah ini, melaksanakan sholat agar jiwanya lebih tenang.
           Setelah Maman menunaikan sholat subuhnya, Ia bergegas mandi. Lalu dengan segera berangkat ke tempat kerjanya. Ya, Maman memang bukan anak yang beruntung. Pagi hari seharusnya Ia bersiap-siap untuk sekolah, namun karena keterbatasan biaya Ia tak dapat melanjutkan sekolah. Ia hanya bersekolah sampai kelas 3 SD, dan bila Maman masih bersekolah Ia pasti sudah menginjak kelas 6 SD sekarang. Ingin sekali ia melanjutkan pendidikannya, belajar menggunakan buku-buku yang bagus, mengenakan seragam putih biru yang bersih. Namun semua itu hanya mimpi belaka yang mana mungkin terwujud untuk saat ini. Ah cukuplah bermimpi, Maman sudah bersyukur bila hari ini Ia masih bisa merasakan nasi dengan lauk ikan asin atau telur dadar seperti biasanya.
            Tak terasa, sampailah Ia di toko koran. Maman lalu menghampiri juragannya, "Jatah mu di sana, Man." Sang juragan menunjuk gundukan koran di sudut ruangan. "Hari ini jatah mu mengantarkan koran di Perumahan Kidung Jaya." Waah perumahan elite, pikir Maman. "Baik, Bang!"
            Maman lalu mengambil sepeda mini yang memang telah disediakan sang juragan untuk loper-loper koran yang bekerja dengannya. Pagi ini, Maman mengawali harinya dengan menjadi loper koran seperti biasa. Ia lalu mengayuh sepedanya kuat-kuat dengan senyum yang mengembang. Ia senang merasakan angin di pagi hari, mebuatnya terasa begitu segar serasa beban berat yang Ia pikul selama ini terlepas dari pundaknya. Kata Ibu "Nikmatilah angin saat Ia berhembus, karena Ia dapat membantu melepas beban mu walau hanya sesaat. Dan jangan lupa tersenyumlah saat menghadapi hari-hari mu." Sampailah  Maman di perumahan elite itu, dengan lincah dan tepat Ia lemparkan koran-koran itu ke teras sang pelanggan.
           Tugasnya menjadi loper koran telah selesai, Maman bergegas kembali ke toko juragannya. Saat Maman sedang menyusuri jalanan komplek, Ia melihat seorang wanita kira-kira berusia 30 tahunan bersama seorang anak kecil laki-laki yang lucu sekali, kulitnya putih, pipinya memerah karena udara pagi yang memang masih terasa dingin. Mungkin mereka adalah Ibu dan Anak. Sang Ibu menggandeng tangan anaknya dengan penuh kasih sayang, tersenyum melihat sang anak yang sedang memakan kue donatnya. Sang anak terlihat sangat lahap saat memakan donatnya, hingga mulutnya penuh warna coklat karena meses yang menempel. Lalu dengan segera si ibu berlutut di depan anaknya, mengeluarkan selembar tissue dan dengan cekatan membersihkan mulut anaknya. Setelah dirasa bersih, si Ibu menggandeng tangan anaknya lagi, mengajaknya bergegas pulang.
            Maman jadi ingat dengan kenangan-kenangan bersama Ibunya. Ia ingat saat pertama kali Ibunya mengajaknya ke pasar, di sana Maman melihat banyak aneka jajanan pasar. Maman tertarik dengan jajanan yang berbentuk bulat-bulat kecil, dengan ampas menyelimutinya, klepon. Ia merengek, meminta kepada Ibunya agar dibelikan jajanan tersebut, dengan rasa tulusnya sang Ibu membelikan jajanan yang diinginkan Maman. Ibu tersenyum saat Ia melihat anaknya dengan penuh ceria melahap habis kleponnya. Gula merah berceceran di pipi, mulut, dan tangan Maman. Ibu dengan sabar, membersihkan tangan, pipi, dan mulut Maman dengan bajunya, tanpa memperdulikan bajunya juga akan kotor oleh gula merah. "Lain kali kalau makan pelan-pelann saja ya, nak. Lihat tuh kamu jadi terlihat kotor." Kata Ibu, sambil tersenyum lalu mencolek lembut hidung Maman.
             Ah! Kenangan itu. Selalu saja Maman hampir menangis bila mengingat kenangan-kenangan bersama Ibunya. Ia lalu menghapus air mata yang hampir saja keluar, menghirup udara pagi dalam-dalam, berharap sebuah gumpalan besar di tenggorokkannya yang begitu menyakitkan segera hilang. Maman bergegas kembali ke toko koran, meletakkan sepedanya, melaporkan bahwa tugasnya sudah selesai, dan mendapatkan upah. Upahnya memang tidak seberapa, hanya sepuluh ribu rupiah, namun cukup untuk sarapan pagi ini.
             Sebelum melanjutkan aktivitasnya hari ini, Maman mengunjungi warung langganannya. Memesan sarapan seperti biasa, nasi dengan lauk sepotong ikan asin. Tak masalah baginya hanya memakan lauk yang sekadarnya seperti itu, yang penting perut kenyang dan harganya murah meriah. Saat makan kenangan bersama Ibunya muncul lagi. Entah mengapa hari ini Ia rindu sekali dengan Ibunya, Ia ingin bertemu dengan sang Ibu. Bagi Maman, Ibunya adalah sosok Ibu teladan. Ibu yang luar biasa baik. Ibunya adalah orang yang taat beribadah, suka menolong orang yang kesusahan walaupun sering kali hidup Ibu pun teramat susah, Ia penuh kasih sayang, tidak pernah sekalipun Ia memarahi Maman. Ibunya itu ramah dan sabar, makanya banyak tetangga yang menyukainya. Hanya orang-orang idiot dan tak berhati manusia lah yang tega membuat hancur hidup Ibunya, salah satunya adalah Ayah Maman. Sering kali, Ayah memukuli Ibunya bila sang Ibu tak memberikan uang untuk membeli minuman beralkohol dan rokok. Terkadang Maman sering berpikir, mengapa Ibu mau menikah dengan orang seperti Ayah? Sangat banyak lelaki yang jauh lebih baik dari pada Ayah, yang bisa memperlakukan Ibu selayaknya seorang istri dan membuat Ibu bahagia. Pernah suatu kali Maman menanyakan pikirannya itu kepada Ibunya, dan Ibunya hanya menjawab "Karena Tuhan lah yang menjodohkan Ibu dengan Ayah mu."  Lalu Ibu tersenyum lembut. Setelah itu, Maman tak berani lagi menanyakan isi pikirannya. Baginya, asalkan sang Ibu tak pernah memudarkan senyumannya, itu sudah cukup memberi tahu Maman bahwa Ibunya selalu kuat untuk menjalani hidup yang terlalu kejam untuknya.
           Sial! Maman sangat merindukan Ibunya. Hari ini Maman bertekad untuk mencari Ibunya, menemukannya, serta memeluknya. Ia lalu melanjutkan aktivitasnya setelah makan dan membayar. Sekarang tujuannya adalah ladang milik Haji Komar. Maman memang biasa membantu Haji Komar untuk mengurus ladangnya yang cukup besar. Ladang Haji Komar ditanami terong, singkong, jagung dan beberapa umbi serta sayur-sayuran yang lain. Sebelumnya Maman mengunjungin rumah Haji Komar terlebih dahulu, meminta izin serta meminjam cangkul dan arit. Setelahnya, baru lah Maman pergi ke ladang. Ia mencangkul tanah-tanah yang kering, memotong rumput dengan arit, menyirami tanaman, menyemprotnya dengan pestisida dan mengambil beberapa sayur serta umbi bila sudah ada yang terlihat matang dan bagus.
            Siang itu matahari sangat terik, kepala Maman terasa sedikit pusing karena panas matahari. Ia memutuskan untuk duduk di sebuah pohon mangga. Sedikit mengantuk bila duduk di bawah pohon yang teduh ini, berkali kali Maman menguap. Tetapi Ia kekeh bertahan agar tidak tertidur, mengakibatkan halusinasinya bangkit, tiba-tiba Ia melihat sekelebat bayangan Ibunya. Melewatinya dengan senyum khasnya. "Ibu!" panggil Maman. Ia lalu segera berdiri, mengikuti bayangan dimana Ia menghilang. Maman terus saja memanggil-manggil Ibunya. Ia hampir 3 kali mengelilingi ladang yang luas itu terus menerus, hingga Ia merasa lelah. Maman jatuh terduduk di tengah ladang, lagi-lagi air matanya hampir menetes tetapi cepat-cepat Ia hapus. Kata Ibu "Laki-laki itu dilarang menangis!" Maman lalu berdiri, kembali ke pohon mangga tempat Ia berteduh tadi. Memandangi cangkul dan arit milik Haji Komar, yang dulu juga sering Ibunya pakai saat Ia bekerja di ladang Haji Komar. Kata Haji Komar, Ibu Maman adalah orang yang rajin dan jujur dalam bekerja. Tidak pernah sekalipun Ia mengeluh. Maman lalu menggenggam cangkul dan arit itu, mengelusnya, merasakana bahwa dulu tangan Ibunya juga menggenggam alat ini. Maman tak mau terlalu lama larut dengan perasaannya, Ia bergegas pergi dari ladang itu karena tugasnya memang sudah selesai. Maman mengembalikan cangkul dan arit serta memberikan hasil ladang yang tadi Maman ambil karena memang sudah waktunya dipanen, Haji Komar pun tak lupa memberikannya upah bekerja, lumayan dua puluh lima ribu rupiah.
          Hari sudah semakin siang, perut Maman sudah memberontak ingin diisi. Kembali Ia menghampiri warung makan langganannya. Kali ini lauknya bukan sepotong ikan asin, namun sepotong telur dadar dengan nasi. Maman bersyukur dapat merasakan telur dadar yang hanya dapat Ia rasakan seminggu sekali. Nikmat rasanya. Maman tak pernah sekali pun tak mensyukuri nikmat Tuhan, baginya apa yang Tuhan sekarang berikan kepadanya adalah sebuah bentuk kasih sayang Tuhan untuknya. Walaupun Maman serba kekurangan, namun Maman yakin Tuhan tak pernah sekali pun kurang dalam memberikan kasih sayang-Nya kepada Maman. Sebentar Maman duduk-duduk di warung, melepas lelah dan kepenatannya. Lalu Ia menatap jam dinding yang ada di warung, pukul setengah 3 sore. Waktunya Maman beranjak menuju tempat kerjanya yang lain.
           Kali ini Maman akan menggembala domba-domba ternak milik Pak Sahrir. Seperti biasa, setelah meminta izin kepada Pak Sahrir, Maman mengeluarkan 5 domba Pak Sahrir dan membawa mereka ke lapangan berumput di sebelah rumah Pak Sahrir. Pekerjaan ini cukup mudah, Maman hanya perlu mengikat domba-domba tadi di kayu-kayu yang sudah ditancapkan di tengah lapangan dan mengawasi domba-domba makan. Lalu setelah domba-domba sudah cukup makan, waktunya Maman memandikan domba-domba tersebut, dibantu oleh Pak Sahrir. Dan domba pun di jemur sebentar, sebelum masuk kandang kembali. Sambil menunggu domba dijemur, Maman membersihkan kandang domba dari kotoran-kotoran domba. Seperti tidak dapat mencium bau busuk yang menyengat, Maman cuek saja menyapu dan menyirami kandang domba hingga bersih. Setelah itu, barulah Maman memasukan kembali domba-domba tadi ke kandangnya. Sebelum pulang Maman pamit dulu kepada Pak Sahrir, yang lalu diberi upah oleh Pak Sahrir. Lima belas ribu rupiah.
            Dalam perjalanan pulang, langit sudah memerah saat itu. Awan-awan hitam mulai berarak memenuhi langit. Rasa lelah tak membuat tekad Maman luntur untuk menemukan Ibunya hari ini. Ia lalu menyusuri jalan jalan kampung, melongok ke warung-warung yang dulu sering menjadi tempat Ibunya belanja. Terkadang Ia juga sedikit mengintip ke rumah-rumah tetangganya, berharap Ia menemukan Ibunya di sana. Lalu Maman pergi ke sebuah TPA. Dulu sang Ibu juga pernah menjadi pemulung di sana. TPA itu sudah mulai sepi, para pemulung sudah bergegas kembali ke rumah mereka masing-masing sejak tadi. Maman berteriak memanggil Ibunya. "Ibu! Ibu! Ibu! Dimana kau? Ibu! Kembali lah pulang! Aku merindukan mu!" Terus menerus Maman meneriakkan kata-kata itu. Hingga air matanya tak dapat terbendung lagi, Maman sudah tak menghiraukan nasihat Ibunya yang melarang seorang lelaki menangis. Baginya, rasa rindu ini begitu menyakitkan hingga seluruh tubuhnya tak dapat lagi menahannya. Maman menangis tersedu-sedu, menunjukkan kemirisan yang menyayat hati pendengarnya.
            Seperti bangun dari tidurnya, Maman lalu tersadar. Hanya ada satu tempat di mana Ia akan menemukan Ibunya. Segera Ia berlari ke tempat itu. Sesampainya di sana, Ia mematung penuh kelegaan melihat Ibunya masih berada di sana, namun tetap saja hatinya tersayat bila melihat keadaan Ibunya saat ini. Maman lalu menghampiri Ibunya, berlutut di hadapannya, memandangnya penuh rasa rindu. Lagi-lagi air matanya menggenangi pipinya. "Ibu." Isaknya. "Kapan kau pulang? Kau tahu aku sangat merindukan mu, Ibu? Haruskah aku yang mengikuti mu pergi?" Maman lalu memeluk Ibunya, ingin sekali Maman merasakan hangat tubuh sang Ibu, namun yang dia peluk kini adalah batu nisan yang hanya mengeluarkan hawa dingin. Tak mungkin lagi Maman merasakan pelukan hangat Ibunya. Sudah hampir 3 tahun Ibunya pergi meninggalkannya karena sakit TBC yang Ia derita. Maman terisak tak kuasa menahan rasa rindu yang sudah 3 tahun Ia tahan. Sekali lagi Maman berkata "Ibu kapan kau pulang? Rindu ku sudah tak dapat ku bendung."

0 komentar:

Posting Komentar