Selasa, 27 September 2011

Dua Hati

Aku memukul lengan gempal itu, senyum ku mengembang tat kala sang empunya tangan meringis kesakitan. Aku tertawa saat sang empunya tangan memanyunkan bibir tanda dia sebal dengan perbuatan ku. Namun itu yang aku suka dari laki laki bertubuh gempal, bermata sipit, bekulit sawo matang dan memiliki kebiasaan mahal senyum. Di sisi lain, tanpa aku sadari secara langsung, sepasang bola mata menatap kami tajam, malas melihat pemandangan yang baginya sangat menyebalkan.
"Bena, aku minta nomer mu dong." pinta ku kepada si tubuh gempal sambil sedikit merajuk.
"Minta aja sama si Diki." jawabnya sambil melirik ke arah Diki.
Aku melirik ke arah Diki, dia tampak malas malasan. Tatapannya seperti orang putus asa.
"Aku udah pernah coba minta ke dia, tapi dia gak mau kasih." aku memanyunkan bibir ku.
"Pasti dikasih kok, kan udah aku izinin."
"Hmm iya deh, nanti aku coba tanya ke Diki."
Aku menghampiri Diki yang sedang duduk di kursi kantin. "Diki, aku minta nomernya Bena dong."
Tidak ada jawaban, dia tampak tidak mendengarkan kata kata ku.
"Diki, aku minta nomernya Bena." Pinta ku sekali lagi sambil sedikit merajuk.
Diki melihat ke arah ku dengan tatapan malas, lalu pergi meninggalkan ku. Spontan aku langsung lari ke arahnya. "DIKI ! aku minta nomernya Bena !" bentak ku, merasa kesal dengan pertanyaan ku yang tidak dihargai. Diki menatap ku lagi, berhenti dengan sikap malas.
"Aku minta nomernya Bena." ucap ku sekali lagi.
"Nanti lah ! Aku gak hafal !" jawabnya dengan nada jutek. Diki langsung pergi meninggalkan ku. Aku merasa sedikit aneh dengan sikapnya "Kenapa dia? Tidak biasanya dia jutek seperti ini." Tanya ku dalam hati kepada diri ku sendiri.

Malam itu malam minggu, aku bersama teman teman ku nongkrong di salah satu restauran. Kami membicarakan banyak hal, hingga aku teringat bahwa aku harus meminta nomernya Bena ke Diki. Aku mulai memainkan jari ku di atas keypad "Diki, aku minta nomernya Bena." Lalu aku menekan tombol send.
Tak lama terdengar bunyi dering handphone ku, tanda bahwa ada pesan masuk. Dari Diki, "Nanti lah. Aku lagi kena tilangan koh." Aku sedikit menelengkan kepala saat membacanya, tapi dengan cepat aku membalas pesannya "Haa? Kena tilangan dimana?" Aku membalas penuh penasaran dan berharap pesan ku cepat mendapat balasan. Namun hening. Aku bertanya tanya ada apa dengan Diki. Aku pun berpikir, saat itu malam minggu pukul 20.00 secara logika mana mungkin di saat itu ada tilangan? Ini tidak masuk akal. Aku mulai berpikir bahwa ada sesuatu yang tidak benar.

Aku sedikit marah dengan perlakuan Diki yang jutek tanpa alasan. Apa maksudnya dia memperlakukan ku seperti itu? Biasanya dia sangat manis dan penuh perhatian. Dia laki laki yang ceria, penuh senyum dan lucu, tetapi sekarang? Dia mendadak jutek dan tidak peduli dengan ku. Aku kesal.

Hari Senin, hari pertama ku bertemu Diki setelah masalah kemarin. Satu hari penuh aku tidak menyapanya, walaupun dia terus menerus memperhatikan ku bila kita bertemu di beberapa kesempatan. Aku tidak berniat menyapanya, rasanya masih malas untuk berahmah ria dengannya bila mengingat perlakuannya 2 hari lalu. Aku selalu memalingkan muka saat pandangan kita bertemu.
Ini berlanjut hingga pelajaran terakhir, saat itu pelajaran di kelas ku sedang kosong, aku dan dua orang teman ku memutuskan untuk jajan ke kantin. Saat itu aku sedang berpangku tangan, kepala ku aku tolehkan ke arah kelasnya Diki dan Bena yang kebetulan berada tepat di sebelah kantin. Pandangan ku kosong, aku tidak sadar bahwa Diki sudah ada di depan kelas dan sedang melihat ke arah ku. Namun dengan cepat aku sadar saat dia melambaikan tangan dan tersenyum lebar kepada ku. Spontan aku langsung menegakkan badan, sedikit salah tingkah, tetapi aku langsung membalas senyumnya dan melambaikan tangan ku. Diam diam aku rindu menyapanya, aku rindu melihat senyumnya yang hanya ia tujukan hanya untuk ku. Lalu dia buru buru membalikkan badan dan pergi untuk menuju lab komputer. Itu adalah senyum pertama dan terakhirnya di hari Senin.

Hari Selasa, mood ku lebih baik daripada hari sebelumnya. Aku menjalani kegiatan di sekolah seperti biasa, hingga bel istirahat pertama. Aku berencana kembali ke kelas setelah pergi dari UKS untuk meminta minyak kayu putih bersama teman ku, perut ku terasa sakit hari itu. Kita melewati kelasnya Diki dan Bena, saat itu aku melongok ke dalam kelas lewat jendela, aku mendapati Alan sedang berdiri di tengah ruangan.
"Alan !"
Dia menoleh dan tersenyum kepada ku "Eh, baby unyu unyu !" Alan memang selalu memanggil ku seperti itu, dia menganggap aku imut karena pipi ku yang super tembem.
"Bena mana?" Aku langsung mengeluarkan pertanyaan itu, karena jujur aku sangat merindukan laki laki gempal itu. Aku rindu melihat matanya yang sipit dan terlihat dingin itu. Aku rindu bercanda dengannya.
"Tuh." Alan menunjuk ke arah lantai di belakang kelas. "Bena lagi terkapar di lantai tuh."
Aku langsung menolehkan kepala ku ke arah yang ditunjuk Alan. Aku melihat kaki yang terjulur di lantai, namun muka si empunya kaki tidak terlihat. "Aaah gak keliatan." Erang ku.
"Ben, dicariin your lovely baby unyu unyu tuh. Hahaha" Alan menggoda ku dan Bena. Aku tidak terlalu menggubrisnya, aku hanya tersenyum. Lalu aku beranjak pindah ke jendela yang lain agar aku bisa melihat Bena dengan jelas.
"Bena? Absen muka dulu dong." panggil ku.
"Hmm" Bena hanya bergumam malas, dia tidak berkutik dari tidurnya. Aku tahu dia sedang kecapekan habis olahraga. Aku hanya tersenyum melihatnya, namun aku tidak menyadari tubuh yang juga terbaring di sebelah tubuh Bena.
"Diki mana?" Tanya ku kepada Ilham, teman Bena yang lain.
"Tuh." Ilham menunjuk tubuh yang terbaring di sebelah Bena. Hati ku langsung mencelos menyadari tubuh itu adalah Diki. Jadi, sejak tadi dia mendengar ku menggoda dan merajuk kepada Bena? Saat itu juga aku langsung membodoh bodohi diri ku. Harusnya aku tahu bahwa ada Diki di sana, tapi kenapa aku tidak menyadarinya? Bodoh !
Aku bertatap muka dengan teman ku dan meringis bersama saat menyadari kebodohan ku. Secepat kilat aku langsung berpamitan pergi meninggalkan kelas itu.


Saat itu pelajaran kosong, aku dan beberapa teman ku menuju ke kantin untuk menghilangakan penat saat jam menunjukkan bahwa 15 menit lagi bel istirahat kedua berbunyi. Tak lama bel istirahat kedua pun berbunyi, setelah bel aku melihat Diki keluar dari kelas menuju kantin. Dia menyapa ku, namun aku pura pura tidak melihat dan menutup muka ku. Setelah Diki membeli minum, dia beranjak pergi. Namun aku tidak tahan untuk terus seperti ini, sedikit berkomunikasi dengannya sangat menyiksa. Aku lantas memanggilnya "DIKI GENDUUUUTT !!!"
Diki menoleh ke arah ku, tersenyum dan menjulurkan lidah. Aku memberi isyarat tangan agar dia mendekati ku. "Aku kan kangen sama kamu." Aku sedikit merajuk dan memanyunkan bibir ku. Diki tersenyum lebar, agak salah tingkah. Dia lalu duduk di bangku seberang, di sebelah teman ku. Kita mengobrol macam macam, bercanda sambil terus tertawa. Aku rindu melihat tawanya.
Hingga bel tanda istirahat kedua berakhir pun berbunyi, aku dan teman teman ku memutuskan untuk kembali ke kelas. Kita masih berdiri di depan kantin saat akan kembali ke kelas, lalu tiba tiba teman ku berkata kepadaku "Lihat tuh, Diki lagi nyari nyari permen Kiss. Jangan jangan dia lagi nyari permen yang kata katanya bagus." Aku tidak menjawab, hanya tersenyum melihatnya.
Lalu teman ku berkata lagi "Dia senyam senyum ngeliatin kamu tuh." Lagi lagi aku tidak menggubris, aku hanya sekilas melihatnya. Sampai aku sadar dia sudah berdiri di samping ku, lalu dia memberikan permen Kiss warna biru kepada ku "Kata katanya bagus buat kamu." Dia tersenyum kepada ku dan beranjak pergi.
Aku memperhatikan permen itu sebentar dan membalikkannya. Membaca kata kata yang ada di balik permen itu yang ternyata tulisannya adala "FOREVER LOVE". Deg! Aku sedikit terpaku dengan kata kata itu, lalu dengan cepat aku menoleh ke arah Diki yang sedang berjalan mundur sambil memandang ku.
"Gombal." Kata ku dengan senyum yang tidak dapat aku tahan.
Diki pun membalas senyuman ku lembut. Lalu dia berbalik dan hilang di dalam kelasnya. Sekali lagi aku memandangi tulisan itu dengan senyum yang mengembang lebar.

Namun secepat kilat aku menyadari, untuk siapa hati ku di saat terakhir nanti? Aku sadar, aku mencintai dengan cara yang salah. Aku sadar, bahwa secepatnya aku harus memilih.
Secepat kilat pun senyum ku luntur direnggut kegundahan segelap arang.

0 komentar:

Posting Komentar